Aku bukan pikiranku. Aku bukan tubuhku. Lalu... siapa aku?
Ada satu momen waktu sedang berselancar di internet, aku menemukan sebuah konten unik, aku dengar kalimat yang bikin aku mikir agak lama:
“Kamu bukan pikiranmu. Kamu juga bukan tubuhmu.”
Awalnya terdengar seperti quote motivasi murahan. Tapi beberapa hari kemudian kalimat itu muncul lagi di kepala. Nggak pakai efek dramatis, cuma pertanyaan sederhana: Kalau bukan pikiran, bukan tubuh, lalu... aku siapa?
Pikiran: Aku Bisa Dengar, Tapi Aku Bukan Itu
Sederhananya, aku bisa dengar pikiranku sendiri. Kadang komentarnya lucu, kadang kejam, kadang berlebihan. Misalnya:
- “Lihat aja, besok kamu bakal gagal total.”
- “Tuh kan, kamu nggak penting buat siapa-siapa.”
- “Udah, nga usah ikutan' mending diam aja.”
Yang menarik, aku bisa mendengar semua itu. Kadang setuju, kadang nolak. Tapi yang dengar itu siapa? Kalau pikiranku bisa bicara sendiri, dan aku bisa menyadarinya, berarti aku bukan pikiran itu, kan?
Pikiran Itu Otomatis
Selama ini aku anggap pikiran itu “aku”. Tapi ternyata, mereka muncul tanpa permisi. Seperti iklan pop-up. Kita bisa tutup, tapi tetap aja muncul lagi. Jadi lebih tepatnya, pikiran itu seperti background noise. Kadang berguna, kadang cuma gangguan.
Tubuh Ini: Aktor atau Aku?
Tubuh ini juga jadi pertanyaan. Dari kecil diajarin kalau “kamu adalah tubuhmu”. Ketika ada makanan lezat tubuhku memiliki hasrat ingin menyantapnya, tapi karena bukan jatahku aku menahan dan mengurungkannya.
Tubuh Punya Kehendak Sendiri
- Lapar di jam nggak wajar
- Ngantuk padahal kerjaan padahal aku memiliki target yang kuat, serasa ngak singkron
- Reaksi seksual yang muncul tanpa direncanakan
Apakah itu semua diriku? Atau cuma respons biologis dari sistem saraf dan hormon? Aku bisa merasakannya, tapi tetap saja... aku bisa memilih untuk nggak langsung nurut. Lagi-lagi, berarti aku bukan tubuh ini sepenuhnya.
Analogi Karakter Video Game
Kalau main game, kita bisa masuk ke dalam peran. Arthur Morgan di Red Dead Redemption. Dragonborn di Skyrim. Kita gerakkan mereka, mereka punya tubuh dan cerita, tapi kita bukan mereka.
Aku mulai mikir, gimana kalau tubuh ini juga seperti karakter? Aku bukan karakternya, tapi yang mainin. Tapi kalau itu benar, siapa yang sudah menentukan opsi pilihannya?
Kesadaran Sebagai Pengamat
Di beberapa konten, aku ketemu konsep bahwa diri kita sebenarnya adalah “kesadaran” semacam pengamat diam di balik semua pengalaman.
Yang Aku Sadari Saat Mencoba Diam
- Pikiran bisa ribut sendiri
- Tubuh bisa gelisah sendiri
- Emosi bisa naik turun tanpa sebab jelas
Tapi ada satu titik yang tetap: aku yang menyadari semuanya. Dia nggak komentar, nggak ikut debat, cuma tahu. Rasanya kayak awan yang datang dan pergi, tapi aku cuma mengamati dan nggak kasih opini. Kalau itu benar, bisa jadi “aku” yang asli ya si pengamat itu.
Perbandingan Pandangan Diri dari Berbagai Sumber
Pandangan | Penjelasan |
---|---|
Filsafat Timur | Dirimu bukan ego atau tubuh, tapi kesadaran murni. |
Carl Jung | Diri adalah totalitas dari semua sisi sadar dan tak sadar. |
Psikologi Modern | Diri dibentuk oleh pengalaman, tapi tidak ada “inti tetap”. |
Konten Motivasi Populer | Kamu adalah “jiwa”, sesuatu yang “unik” dan “terpilih”. |
Jujur, aku nggak bisa langsung 100% percaya salah satunya. Tapi semua punya satu titik sama: kamu bukan cuma apa yang kamu pikir atau rasakan.
Lalu, Siapa Aku Sebenarnya?
Yang jelas, aku bukan isi pikiranku yang muncul seenaknya dan sering di luar kendaliku. Misalnya, ketika ada orang nyanyi dan tiba-tiba pikiranku komentar: “Suaranya nggak bagus, kenapa pede banget?” aku nggak niat mikir begitu. Tapi tetap saja muncul. Kenapa pikiranku bisa begitu?
Aku juga bukan tubuh ini yang pelan-pelan menua, tapi terus berusaha bertahan hidup dengan mengganti sel yang rusak. Tubuh ini bekerja keras secara otomatis agar aku tetap hidup, bahkan saat aku nggak sadar atau tidur.
Mungkin aku adalah kesadaran. Atau ruang tempat semuanya muncul dan lenyap. Atau bisa jadi, semua ini hanya sistem otomatis dan nggak ada “aku” sejati sama sekali.
Pertanyaan yang Masih Menggantung
- Kalau aku bukan pikiran dan bukan tubuh, kenapa aku tetap merasa “aku”?
- Siapa yang mengambil keputusan kalau bukan “aku”?
- Kalau semua ini cuma proses biologis, apa artinya hidup?
Aku belum nemu jawabannya. Tapi sejauh ini, semakin aku tidak menganggap pikiran dan tubuh sebagai “aku”, semakin lepas juga tekanan dari harus selalu benar, harus selalu sempurna.
Penutup
Aku menulis ini bukan buat ngasih solusi atau motivasi. Aku juga masih nyari. Tapi pertanyaan ini worth untuk direnungkan:
Kalau kamu bukan pikiranmu, bukan tubuhmu, lalu... siapa kamu sebenarnya?
Mungkin itu bukan pertanyaan yang bisa dijawab, tapi dijalani. Dan kalau kamu pernah merasa asing dengan dirimu sendiri... mungkin kita sama.
Posting Komentar