Ketika Terjemahan Merusak Cerita - Jualan Buku

Daftar Isi

Membaca buku seharusnya menjadi pengalaman yang menyenangkan, bahkan mencerahkan. Tapi bagi aku yang kadang membaca buku terjemahan ke Bahasa Indonesia, tak jarang justru malah frustrasi. Kenapa? Karena terjemahannya sering kali membuat ceritanya jadi hilang rasa.

Ketika Kata-Kata Kehilangan Jiwa

Pernah beberapa kali aku baca novel terjemahan yang bikin aku merasa, "Ini buku kok hambar banget, ya?" Tapi saat aku cari tahu lebih dalam, melihat versi aslinya atau membaca review dari pembaca luar negeri, baru terasa betapa besarnya perbedaan pengalaman membaca yang aku alami.

Alih-alih membuatku tenggelam dalam cerita, versi terjemahannya justru membuatku kehilangan arah. Kalimatnya kaku, dialognya terasa tidak alami, dan gaya penulisan penulis asli seolah lenyap begitu saja.

Masalah yang Sering Kutemukan pada Terjemahan Buku

Masalah Umum Terjemahan Dampak ke Pembaca
Terjemahan terlalu harfiah Kalimat terasa kaku dan tidak alami
Pilihan kata kurang tepat Makna asli dari penulis jadi kabur
Struktur kalimat kaku Mengurangi kenyamanan membaca
Tidak memahami konteks budaya Pesan atau emosi tokoh gagal tersampaikan
Penggunaan istilah asing yang salah Mengganggu imersi dan membingungkan

Kenapa Bisa Terjadi?

Aku tidak mau langsung menyalahkan para penerjemah, aku tahu pekerjaan mereka tidak mudah. Tapi ada beberapa kemungkinan penyebab kenapa terjemahan bisa terasa mengecewakan:

  • Penerbit terlalu buru-buru ingin menerbitkan buku populer tanpa proses editing terjemahan yang matang.
  • Penerjemah minim pengalaman, apalagi kalau buku aslinya punya gaya bahasa yang kompleks dan tingkat sastra tinggi.
  • Kurangnya editor khusus terjemahan yang bisa menilai apakah hasil terjemahan itu sudah punya “rasa” yang sesuai dengan aslinya.

Pengalaman Pribadi: Belajar Menerjemahkan Sendiri

Saking seringnya kecewa dengan terjemahan resmi, aku akhirnya memutuskan untuk membaca buku-buku asing langsung dalam bahasa aslinya, terutama bahasa inggris tentunya, terjemahan ke dua biasanya sih' kalau orinya bahasa jerman atau rusia 😅 meskipun kemampuan bahasa engresku tidak sempurna.

Kalau ada kalimat yang sulit dimengerti, aku biasanya menerjemahkan sendiri secara perlahan, kalimat demi kalimat bahkan sampai 15 menit 1 kamimat aja. Kalau buntu, aku pakai bantuan AI untuk membantuku memahami maknanya dalam konteks cerita. Hasilnya? Jauh lebih memuaskan. Aku bisa merasakan langsung gaya penulisnya, ritme bahasanya, dan emosi yang ingin disampaikan.

Ternyata, menerjemahkan sendiri justru membuatku lebih dekat dengan karya itu, karena aku benar-benar berusaha memahami, bukan sekadar membaca.

Dampaknya Lebih Besar dari yang Kita Kira

Jujur saja, pengalaman membaca buku terjemahan yang buruk bikin aku jadi skeptis. Kadang aku malah memilih baca versi Inggrisnya langsung (ini kadang juga terjemahan dari bahasa aslinya, tapi lebih masuk), hanya karena takut kecewa lagi. Tapi tentu semua dikembalikan pada preferensi masing-masing.

Dan kalau pembaca sampai menilai bahwa “buku ini jelek” hanya karena versi terjemahannya buruk, bukankah itu merugikan penulis aslinya dan bahkan diri kita sendiri juga yang kecewa isinya tidak sesuai ekspektasi kita?

Harapanku sebagai Pembaca

Sebagai pembaca yang peduli, aku berharap:

  • Penerbit lebih berhati-hati dalam memilih penerjemah yang tidak hanya memprioritaskan menyelesaikan pekerjaannya saja, namun juga memiliki keinginan untuk menyampaikan isinya.
  • Proses editing terjemahan diperketat dan tidak sekadar mengejar tren pasar.
  • Pembaca juga lebih kritis terhadap kualitas terjemahan, bukan hanya isi cerita.

Penutup: Membaca untuk Terhubung

Aku menulis ini bukan karena ingin mengeluh, tapi karena aku mencintai dunia literasi. Aku berharap kita semua penerbit, penerjemah, dan pembaca' sama-sama menjaga kualitas cerita yang kita baca.

Karena membaca seharusnya membuat kita merasa terhubung. Bukan malah terasing.

Posting Komentar

💬 Komentar Terbaru di Blog