Kukira Profesional, Ternyata Dianggap Robot
Dalam dunia kerja, aku selalu berusaha menjaga sikap profesional. Bagiku, bekerja berarti fokus, menjaga etika, dan menempatkan emosi pada tempatnya. Tapi anehnya, sikap yang kuanggap wajar itu justru sering membuatku mendapat label: “terlalu jaim”, “dingin”, atau bahkan “kayak robot.”
Aku tidak menolak interaksi, tidak ingin sombong, dan tidak memusuhi siapa pun. Tapi tetap saja, ada semacam ekspektasi tak tertulis dalam lingkungan kerja yang membuatku bertanya-tanya: Apakah menjadi profesional artinya harus terlihat santai dan akrab sepanjang waktu?
Aku Tidak Sedingin yang Kalian Kira
Mereka bilang aku terlalu kaku, tapi sebenarnya aku hanya menjaga batas dan menghargai ruang pribadi. Aku tidak selalu ikut tertawa keras atau bergosip di jam istirahat, bukan karena tidak ingin bersosialisasi, tapi karena aku merasa bahwa:
- Ada waktu untuk kerja, dan ada waktu untuk bercanda.
- Aku lebih nyaman mengamati sebelum masuk ke percakapan.
- Aku tidak ingin terlalu membuka diri pada orang yang belum kukenal dekat.
Tapi rupanya di tempat kerja, diam sering kali dianggap sebagai dingin. Sopan dianggap kaku. Jaga jarak dianggap jaim. Dan itu membingungkan.
Antara Profesionalisme dan Budaya Sosial Kantor
Dalam pengalamanku, tiap kantor punya budaya yang unik. Ada yang formal, ada yang sangat santai, bahkan semi-tradisional dan akrab seperti keluarga. Tapi kadang, terlalu akrab justru membuat batas profesional jadi kabur.
Perbedaan Persepsi yang Mungkin Terjadi:
Perilakuku | Versiku | Versi Mereka |
---|---|---|
Fokus kerja, tidak banyak ngobrol | Sikap profesional | Dingin, tidak akrab |
Menjaga bahasa dan ekspresi | Menjaga etika | Terlalu jaim |
Tidak ikut nongkrong setelah kerja | Butuh ruang pribadi | Sombong, tidak mau berbaur |
Aku Bertanya Dalam Hati:
- Haruskah aku pura-pura tertawa agar dianggap menyenangkan?
- Apakah aku harus mengorbankan kenyamanan batinku demi diterima?
- Mengapa menjaga batas dianggap tidak manusiawi?
Aku bukan robot. Tapi aku juga tidak selalu bisa tampil spontan seperti yang orang harapkan. Aku punya sisi hangat, tapi aku tidak suka dipaksa menunjukkan itu pada orang yang bahkan belum mengenalku secara dalam.
Apa Mereka Sebenarnya Ingin Lihat?
Kadang aku merasa orang lebih ingin melihat versiku yang ‘santai’ bahkan jika itu berarti aku harus berpura-pura. Padahal, aku hanya ingin menjadi diriku yang tenang, stabil, dan tidak berlebihan.
Topeng Sosial yang Tak Terhindarkan
Mungkin semua orang memakai topeng di tempat kerja. Aku pun demikian. Tapi topengku adalah kesopanan dan fokus, bukan keakraban palsu. Jika aku menyembunyikan sesuatu, itu bukan niat buruk tapi perlindungan diri.
Kadang aku juga bingung pada satu hal: kenapa aku tidak bisa ikut tertawa seperti mereka? Aku sadar, dalam dunia kerja ada yang disebut “ketawa karir”tertawa demi membangun relasi, mencairkan suasana, atau sekadar menunjukkan bahwa kita “nyambung.” Tapi entah kenapa aku tidak bisa melakukannya.
Bukan karena aku angkuh atau tidak punya rasa humor, tapi karena aku tidak bisa memaksa diri tertawa jika memang tidak lucu. Anehnya, aku tidak menyalahkan siapa pun yang memilih topeng itu, karena kita menggunakan topeng berdasarkan preferensi. Kalau mereka merasa nyaman dengan caranya, silakan. Tapi bagiku, mengenakan ekspresi palsu terasa lebih melelahkan daripada hanya menjadi diriku sendiri yang tenang dan profesional.
Lucunya, kadang saat aku menunjukkan versi diriku yang lebih terbuka, malah orang terkejut atau tidak siap. Maka aku kembali pada prinsip: lebih baik dianggap terlalu formal, daripada kehilangan jati diri demi diterima.
Mengapa Aku Tetap Memilih Sikapku?
Karena aku sadar, tidak semua orang bisa memahami kompleksitas manusia yang tidak selalu terlihat ceria. Aku mungkin antusias hari ini, tapi merenung keesokan harinya. Aku bisa akrab dalam obrolan tertentu, tapi diam di obrolan lain. Itu bukan ketidaktulusan, itu hanya bagian dari kepribadianku yang utuh.
Alasan Mengapa Aku Bertahan dengan Sikapku:
- Itu membuatku nyaman dan tidak memaksa diri menjadi orang lain.
- Itu membantu menjaga batas antara pribadi dan profesional.
- Itu bentuk integritas: menjadi tenang bukan berarti tidak manusiawi.
Penutup: Aku Belajar Berdamai
Kini aku tidak lagi terlalu gelisah saat dibilang “robot” atau “jaim.” Aku mulai belajar bahwa persepsi orang tidak selalu bisa aku kontrol. Yang bisa aku jaga adalah bagaimana aku bersikap yang membuat diriku sendiri nyaman.
Jika suatu saat aku menemukan lingkungan kerja yang lebih cocok dengan karakternya, itu baik. Tapi jika tidak pun, aku tetap bisa berfungsi dan memberi kontribusi. Karena pada akhirnya, profesionalisme bukan berarti kehilangan sisi manusia' justru itu bentuk manusia yang menjaga nilai.
Posting Komentar