Sebelum Menjadi Übermensch: Siapa yang Sebenarnya Memilih Prinsip Hidupmu?

Daftar Isi

Konsep Übermensch dari Nietzsche seringkali dikutip untuk membakar semangat: menjadi manusia yang menciptakan nilai sendiri, melampaui moral umum, dan hidup tanpa tunduk pada sistem.

Namun, sebelum terburu-buru mengadopsi prinsip-prinsip radikal atau menyebut diri telah melampaui yang “baik dan jahat”, ada pertanyaan mendasar yang jarang disorot:

Apakah prinsip itu benar-benar lahir dari dirimu yang sejati? atau hanya reaksi dari pengalaman, luka, atau pencitraan?

Sebelum Menjadi Übermensch: Siapa yang Sebenarnya Memilih Prinsip Hidupmu?

Menjadi Übermensch? Atau Sekadar Merespons Luka?

Keinginan menjadi istimewa, kuat, bebas, dan hidup sepenuhnya terdengar mulia. Tapi dorongan itu bisa saja berasal dari bagian terdalam yang belum selesai: trauma masa kecil, pengabaian, keinginan diterima, atau kemarahan terhadap otoritas.

Contohnya, seseorang menolak semua nilai sosial karena pernah gagal di dalamnya. Atau menyebut dirinya bebas karena sebenarnya takut dikecewakan lagi.

Asal Mula Motivasi: Refleksi Kritis

Motivasi Eksternal Kemungkinan Sumber Emosional
Menolak agama Pengalaman otoriter atau manipulatif di masa kecil
Ingin tampil kuat dan dingin Tidak mau terluka lagi setelah dikhianati
Hidup tanpa aturan Balas dendam terhadap masa lalu yang terlalu dikontrol

Dalam kasus seperti ini, yang menjadi masalah bukan prinsipnya Übermensch atau menjalani hidup dengan sepenuhnya, tetapi siapa yang sedang memilihnya benarkah ini benar-benar diri kita?

Kita Bukan Hanya Satu Diri

Banyak orang merasa yakin telah memilih hidup yang “otentik”, padahal bisa saja keputusan itu dikendalikan oleh bagian dalam diri yang belum mereka kenali.

Psikologi menyebut bahwa dalam diri manusia ada banyak “bagian”: persona, bayangan, ego, intuisi, bahkan luka lama yang belum selesai.

Bagian-Bagian Diri yang Sering Bertentangan

  • Ego: Ingin tampil istimewa, diakui, menang
  • Luka Batin: Mendorong untuk menjauh dari apa pun yang dulu menyakitkan
  • Intuisi: Lirih, tapi jernih, jarang diikuti karena pelan
  • Kesadaran Murni: Menyadari semuanya, tapi pasif

Jika prinsip hidup ditentukan oleh ego atau rasa sakit, maka semua “kebebasan” yang dibangun bisa jadi hanya bentuk lain dari pelarian.

Berani Jadi Diri Sendiri? Tapi... Dirinya yang Mana?

Kalimat seperti “Seorang pria tidak boleh takut pada dirinya sendiri” sering terdengar gagah dan meyakinkan. Tapi jika dicermati pelan-pelan, muncul pertanyaan yang jauh lebih penting:

“Diri yang mana yang seharusnya tidak kita takuti?”

Apakah yang dimaksud adalah ego? bagian dalam diri yang ingin menang, ingin terlihat unggul, ingin diakui? Kalau begitu, keberanian yang dibanggakan bisa jadi cuma topeng dari rasa khawatir yang lebih dalam.

Mungkin rasa takut itu datang dari sisi dalam diri yang tidak pernah benar-benar dikenali: kemarahan, kekecewaan, atau bagian yang selama ini ditolak. Berani, bukan berarti menyingkirkannya. Kadang cukup dengan mengakuinya tanpa banyak drama.

Dan jika yang dimaksud “diri” adalah inti terdalam yang tak terpengaruh pujian atau penolakan, maka mengenalnya lebih dulu adalah syarat mutlak. Karena bagaimana bisa tidak takut pada sesuatu yang bahkan belum kita pahami?

Übermensch yang Jujur Muncul dari Kejernihan

Nietzsche tidak pernah meminta seseorang menjadi sombong atau sok melawan arus demi terlihat keren. Übermensch adalah mereka yang menciptakan nilai baru karena benar-benar telah melepaskan nilai lama secara sadar.

Itu bukan pemberontakan karena kecewa. Tapi transformasi karena mengerti.

Ciri-Ciri Pencipta Nilai Sejati

  • Memilih prinsip setelah memahami asal usul pikirannya sendiri
  • Berani menyelami sisi gelap tanpa langsung menolaknya
  • Tidak mengandalkan kebencian sebagai bahan bakar hidup
  • Tahu kapan harus meruntuhkan, kapan harus mencipta ulang

Jadi, Sebelum Menentukan Prinsip... Tanyakan Dulu:

Mungkin sebelum bicara tentang prinsip hidup, moralitas baru, atau kebebasan total... satu pertanyaan penting harus didahulukan:

Siapa dalam diriku yang sedang memutuskan ini semua?

Apakah ini benar-benar lahir dari kejernihan, atau sekadar perlawanan karena luka lama? Apakah ini nilai yang ingin dibangun, atau hanya topeng untuk merasa aman?

Penutup

Übermensch bukan tentang menjadi hebat atau keras kepala. Tapi tentang menjadi jujur terhadap asal-usul nilai yang kita anut.

Sebelum ingin melampaui moral umum, pastikan siapa yang sebenarnya ingin melampaui itu. Dan sebelum berkata “pria sejati tak takut pada dirinya”, pastikan tahu siapa “dirinya” yang dimaksud.

Mungkin, pencarian akan nilai hidup dimulai bukan dari keyakinan... tapi dari keberanian untuk mengakui bahwa kita belum benar-benar tahu siapa yang membuat pilihan-pilihan itu.

Posting Komentar

💬 Komentar Terbaru di Blog