Kebahagiaan yang Didapat dari Merusak Kebahagiaan Orang Lain - Emboh ju ... 🤮
Di dunia yang semakin bising dengan pencapaian dan eksistensi, ada satu jenis kebahagiaan yang tidak pernah dibahas secara jujur: kebahagiaan yang muncul ketika seseorang berhasil merusak kebahagiaan orang lain. Bukan karena mereka jahat secara eksplisit, tapi karena mereka tidak tahan melihat orang lain bahagia dengan cara yang tidak mereka pahami. duh.
Bayangkan seseorang yang bahagia memancing udang di kali belakang rumah hampir setiap hari. Ia menikmati prosesnya: duduk diam, mendengar gemericik air, menunggu dengan sabar, dan merasa puas ketika berhasil membawa pulang beberapa ekor udang kecil. Bagi dia, itu bukan sekadar aktivitas, tapi bentuk keintiman dengan alam dan dirinya sendiri.
Lalu datanglah orang lain yang berkata, “Ngapain sih cuma mancing udang di kali? Kalau mau keren, mancingnya di laut dong. Sekalian diving, foto-foto, upload ke Instagram.” Dan di situ, kebahagiaan yang sederhana mulai dirusak oleh standar yang tidak diminta. ahh siyapppp,
Bentuk-Bentuk Perusakan Kebahagiaan
Berikut beberapa pola umum yang sering terjadi:
1. Meremehkan Pilihan Orang Lain
- “Cuma gitu doang udah senang?”
- “Kalau aku sih nggak bakal puas dengan hal kayak gitu.”
2. Memaksakan Definisi Kebahagiaan Pribadi
- Menganggap bahwa kebahagiaan harus viral, mahal, atau spektakuler.
- Menyisipkan kalimat seperti “Kamu harus coba ini biar tahu rasanya bahagia beneran.”
3. Menggunakan Dalih ‘Motivasi’ untuk Menyerang
- “Aku cuma pengen kamu berkembang.”
- “Sayang banget potensimu kalau cuma di situ-situ aja.”
Padahal, tidak semua orang ingin berkembang ke arah yang sama. Tidak semua orang ingin bahagia dengan cara yang sama. Dan yang paling penting: tidak semua orang merasa perlu membuktikan kebahagiaannya kepada orang lain. oh yeah.
Contoh Si Penentu Standar Kebahagiaan
Ada semacam keangkuhan sosial yang menganggap bahwa kebahagiaan harus punya estetika tertentu: harus elegan, harus mahal, harus sesuai dengan selera mayoritas yang sudah dibentuk oleh algoritma dan iklan.
Sebuah contoh ketika seorang anak dari keluarga sederhana berfoto di eskalator mal, bukan karena ingin pamer, tapi karena itu adalah momen langka dan berharga baginya, lalu orang lain menyebutnya “kampungan” .
- Tidak semua orang tumbuh dengan akses yang sama terhadap ruang publik yang “dianggap wajar”.
- Bagi sebagian orang, naik eskalator bukan rutinitas, tapi pengalaman.
- Foto itu bukan tentang gaya, tapi tentang bukti bahwa mereka pernah ada di sana bahwa mereka juga bagian dari dunia ini.
Dan ketika kebahagiaan yang sederhana itu dihina, seolah-olah ada sistem tak tertulis yang melarang orang miskin untuk merasa cukup. Seolah-olah kebahagiaan harus dibeli, bukan dirasakan.
Ironi sosialnya: Orang yang menghina seringkali tidak lebih bahagia. Mereka hanya lebih terbiasa. Mereka lupa bahwa kebahagiaan bukan hak eksklusif. Mereka lupa bahwa momen kecil bisa berarti besar bagi orang lain. Dan yang paling menyedihkan: mereka merasa berhak menentukan siapa yang boleh bahagia dan bagaimana bentuknya.
Secara filosofis, ini menyentuh soal dignity of experience. Bahwa setiap manusia berhak merayakan hidupnya, sekecil apapun itu. Bahkan jika itu hanya naik turun eskalator sambil tersenyum. kucink.
Mengapa Ini Terjadi?
- Ego yang Tidak Tertangani Orang yang belum berdamai dengan dirinya cenderung merasa terancam oleh kebahagiaan orang lain yang tidak bisa mereka kontrol.
- Kebutuhan Validasi Sosial Mereka merasa bahwa kebahagiaan harus terlihat, diakui, dan dikomentari. Kalau tidak viral, dianggap tidak sah.
- Ketidakmampuan Menghargai Perbedaan Mereka tidak bisa menerima bahwa ada orang yang bahagia dengan cara yang tidak mereka pilih.
Cara Menghindari Kebahagiaan yang Merusak
- Sadari bahwa kebahagiaan itu personal.
Tidak ada standar universal. Yang penting adalah rasa cukup, bukan rasa lebih. - Jangan ukur kebahagiaan orang lain dengan penggarismu.
Kalau seseorang bahagia memancing udang di kali, biarkan. Tidak perlu dibandingkan dengan mancing ikan di laut. - Evaluasi niat sebelum memberi komentar.
Apakah kamu benar-benar ingin membantu, atau hanya ingin merasa lebih baik? - Latih diri untuk diam ketika tidak diminta bicara.
Tidak semua kebahagiaan perlu dikomentari. Kadang, diam adalah bentuk penghormatan.
Kebahagiaan yang sehat tidak tumbuh di atas puing-puing orang lain. Ia tumbuh dari dalam, dari rasa cukup, dari keintiman dengan diri sendiri. Dan jika kamu bisa bahagia tanpa harus merusak kebahagiaan orang lain, mungkin itu adalah bentuk kebahagiaan yang paling jujur dan paling sulit dicapai.
Posting Komentar