Cita-Cita Tinggi untuk Menjadi Tukang Cuci Piring di Amerika
Ada kalimat yang dulu terdengar lucu, tapi sekarang terasa getir: “Cita-citaku adalah jadi tukang cuci piring di Amerika.” Di tengah bonus demografi yang katanya berkah, justru makin banyak anak muda yang bercita-cita untuk pergi jauh, bukan untuk jadi ilmuwan, seniman, atau pemimpin, tapi untuk mencuci piring. Ironis? Mungkin. Tapi juga jujur.
Kita hidup di zaman di mana mimpi besar terasa mustahil, dan mimpi sederhana pun mahal. Untuk bisa jadi tukang cuci piring di Amerika, kamu butuh visa, biaya, koneksi, dan keberuntungan. Bahkan untuk pekerjaan yang dianggap “rendahan”, jalurnya bisa lebih rumit daripada masuk universitas negeri. Ini bukan soal rendahnya cita-cita, tapi soal sempitnya peluang.
Bonus Demografi: Berkah yang Jadi Beban
Katanya, Indonesia sedang menikmati bonus demografi. Usia produktif melimpah, tenaga kerja berlimpah, potensi ekonomi menggeliat. Tapi di balik angka-angka itu, ada kenyataan yang tak bisa disembunyikan: semua orang jual murah.
Skill, waktu, tenaga, bahkan harga diri. Di marketplace, di pinggir jalan, di kantor-kantor yang penuh tekanan, semua berlomba-lomba jadi yang paling murah. Bukan karena tidak punya nilai, tapi karena sistem memaksa.
Kita diajari untuk bermimpi tinggi, tapi tidak diajari cara menghadapi kenyataan saat mimpi itu ditolak. Kita diminta untuk berjuang, tapi tidak diberi ruang untuk gagal. Akhirnya, banyak yang memilih mimpi yang “realistis”: jadi tukang cuci piring di negara yang menghargai kerja, meski kerja itu kasar.
Mimpi yang Tidak Murahan
Jangan salah. Jadi tukang cuci piring di Amerika bukan mimpi murahan. Justru itu mimpi yang mahal. Karena di sana, bahkan pekerjaan kasar punya standar. Ada upah minimum, ada perlindungan hukum, ada jam kerja yang jelas. Di sini? Banyak yang kerja 12 jam, dibayar setengah, tanpa asuransi, tanpa jaminan. Jadi tukang cuci piring di Amerika bukan soal gengsi, tapi soal martabat.
Mungkin ini bukan soal ingin jadi tukang cuci piring. Mungkin ini soal ingin dihargai. Ingin bekerja tanpa ditindas. Ingin hidup tanpa harus menjilat. Ingin punya ruang untuk jadi manusia, bukan sekadar mesin produksi.
Menyerah Tanpa Menyerah
Di tengah semua ini, kita belajar satu hal: kadang, menyerah bukan berarti kalah. Menyerah bisa jadi bentuk tertinggi dari kesadaran. Seperti konsep Wu Wei dalam Taoisme bertindak tanpa paksaan, mengalir tanpa ambisi, tapi tetap sampai tujuan. Seperti air yang tidak melawan batu, tapi bisa mengikisnya.
Cita-cita untuk jadi tukang cuci piring di Amerika bukan bentuk keputusasaan. Itu bisa jadi bentuk kejujuran. Bahwa kita tahu batas kita, tahu realitas kita, dan tahu bahwa kadang, yang kita butuhkan bukan panggung, tapi tempat yang tenang untuk bekerja dan hidup.
Penutup: Jalan Pulang ke Dalam
Mungkin kita tidak akan pernah sampai ke Amerika. Mungkin visa kita ditolak, biaya kita tidak cukup, atau hidup membawa kita ke arah lain. Tapi bukan itu intinya. Intinya adalah keberanian untuk bermimpi, meski mimpi itu sederhana. Intinya adalah kejujuran untuk mengakui bahwa kita lelah, tapi tetap ingin hidup dengan bermartabat.
Jadi, jika suatu hari kamu bertemu seseorang yang bilang, “Cita-citaku adalah jadi tukang cuci piring di Amerika,” jangan tertawakan. Dengarkan. Mungkin dia sedang menunjukkan padamu bentuk tertinggi dari kesadaran: bahwa di dunia yang penuh ilusi, kadang yang paling jernih adalah mimpi yang paling sederhana.
"This land is not funny joke"

Posting Komentar